Jumat, 26 Desember 2008

Sebelum Kau Pergi

(lagi-lagi di ambil dari binder pribadi gw)

Pukul 15 ketika itu, otakku masih digentayangi oleh rumus volum dan luas sumbu putar juga nama gugus alkil alkanoat. Bahasan-bahasan IPA yang sungguh istimewa untuk menjadi jackpot 2 mata pelajaran terakhrir ini. Entah namaku terseret daftar remedial atau tidak. Yang jelas, telah ku kuras seluruh file di otakku untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan ilmu pasti itu.

Kau berdiri mematung di satu sisi hanggar, tempat kongkow para siswa di sekolah boarding school ini, seorang diri dengan senyum simpul menyapaku tanpa kata. Hingga aku membelokkan langkahku yang tinggal sejengkal lagi memasuki pintu gerbang asrama putri.

Aneh, pikirku.
Mengapa kau tak segera kembali ke asrama putra dan malah mengajakku duduk di salah satu bangku hanggar. Kelihatannya sesuatu yang penting mengalahkan lelahnya otak yang ingin tidur siang saja.

Kau menggeleng untuk kembali ke asrama dan beralih menatapku denagn sangat serius. Memulai pembicaraan flashback tentang apa yang kau lakukan sepekan lalu di Jakarta.

Liburan sekolah saat itu.
Kau sedang mengembangkan sayap untuk mencari informasi universitas mana tempatmu mendarat setelah lulus nanti. Impian besarmu untuk masuk di sekolah perfilman, mengantarkanmu ke sebuah agent yang menawarkan pendaftaran ke sebuah sekolah perfilman terkenal di negri seberang. Kau begitu antusias ingin segera berlari mengejar impianmu yang terpamapang jelas di depan mata. Aku pun menanggapimu dengan senyum penuh syukur, mendengar semangatmu yang meluap-luap melalui telepon selulerku.

Ada yang mengganjal sepertinya.
Aku memintamu bercerita bagaimana perkembangan selanjutnya. Berharap kau telah banyak tahu dan aku ingin mendengarnya.Mungkin kau memancingku bertanya.
Namun kau malah menyodorkan segulung kertas yang kau remas sedari tadi. Memberi isyarat agar aku membacanya.
11 bulan sudah aku mengenalmu. Menjalin hubungan bersamamu,bercerita akan sedih dan bahagiamu, dan tahu segala tentangmu, sekalipun kau galau. Seminggu lagi tepat tanggal 8 Oktober, kita genap menjadi 12 bulan. Tapi raut wajah seperti ini baru kutemui sekarang.

Isi kertas inikah yang membuatmu begitu bungkam? Tak pernah aku berharap hal-hal seperti ini terjadi menjelang hari jadi kita. Kalimat demi kalimat aku cermati dan kau sedikit demi sedikit mencoba menjelaskan. Ini asing bagiku. Aku tahu dia akan melanjutkan sekolah perfilman nanti, setealh lulus. Tapi mengapa waktu enggan mengulur lama-lama? Kau seakan menarik maju waktu 6 bulan lebih cepat. Hingga kita harus tertarik oleh kutub kita masing-masing hanya dalam hitungan minggu.
"Tanggal 20 a' berangkat."
Terhitung 3 detik kau mengucap kata-kata itu. Tapi tak terhitung berjuta detik yang lalu pernah ada aku dan kamu mengagumi fajar dan membiarkan gemintang bercahaya. Setiap waktu, genggaman tanganmu mengikat perasaan ini dan terlanjur telah kunyalakan beribu lilin agar kau mampu melihat hatiku yang tentram untuk selalu berada di sismu. Sungguh sekejap pandangan, ombak waktu meraup semua memori iyu dan menghanyutkannya menuju samudera entah. Hingga hanya tersisa duri-duri laut yang menusuk-nusuk pilu pada pesisir riak harapku yang lengang.

Lengang sekali...
Sampai tak bisa kudengar suara hatikiu sendiri. Menangiskah ia? Meraungkah ia? atau matikah ia? Aku mati rasa. Kau hanya diam menunggu mulutku melontarkan sepatah kata. Asal kau tahu, lidahku terlalu lemah untuk mematahkan sebuah kata. Begitu kelu dan juga hatiku. Beberapa fantasiku mencoba menghibur diri sendiri. Men-setting otakku untuk percaya bahwa aku baru saja pingsan setelah mengerjakan soal ulangan, dan ini adalah alam mimpi.
Tapi percuma. Fantasiku tidak lebih kuat dari pahitnya kenyataan.

Katakanlah bahwa kau berbohong. Jika kali ini kau berbohong, itu berarti kau menghintikan perputaran otakku yang sudah nyaris korslet. Karena yang terlontar dari mulutku hanyalah kata 'mengapa' tanpa ada embel-embel yang lain. Itu dan itu saja. Berkali-kali. Sampai kau habis kata-kata untuk menerangkan bahwa kau memutuskan melewatkan Ujian Nasional demi satu mimpimu itu.

Kau menutup pertemuan itu dengan mengantarku pulang hingga depan gerbang asrama putri. Setelah aku meminta waktu untuk mencerna semua kejadian barusan dan mengistirahatkan jiwaku agar terkunci semua prasangka buruk.
Aku menatap dirimu yang kehabisan kata, kosong. Saat ini aku bisa memandang utuh hadirmu. Tapi tak kan lama sekejap semua itu lenyap. Aku berbalik badan darimu. Tak kuat mencengkeram nafas ini lebih lama. Hingga akhirnya pecah tak lagi terbendung. secepat inikah? Tuhan, kini aku paham. Engkau selalu punya rencana, tapi kita tak pernah tahu.

Kemudian tangis itu melebur berebutan jatuh bebas dari harapan-harapan yang sempat membumbung tinggi. Bebaskan sayapmu merentang menembus duniamu. Agar suatu saat nanti dapat kutagih semua janji.




1 komentar:

Anonim mengatakan...

kan allah selalu ngasih yang terbaik buat kita. mungkin iki sing terapik dari allah buatmu bu :)

About Hesti...

bandung, jawa barat, Indonesia
aku suka apapun yang bikin aku ketawa.. aku memperhatikan segala sesuatu dari yang terkecil.. Paling gak suka bikin orang kecewa.. dan paling benci orang pembual

Well, I just want to write what I want to write and I just want to tell you what I want to tell So,you can read if you want to read Of course you can read them. With my pleasure! :-)